Sejarah Yogyakarta: Dari Mataram Islam Hingga Kota Budaya


Yogyakarta, atau akrab disebut Jogja, bukan sekadar kota di Jawa Tengah bagian selatan. Ia adalah perpaduan antara sejarah kerajaan, perjuangan kemerdekaan, dan budaya yang masih terjaga hingga kini. Sebelum menjadi Daerah Istimewa Yogyakarta, wilayah ini telah melalui perjalanan panjang yang membentuk identitasnya.

Kisah Yogyakarta tak bisa dilepaskan dari Kerajaan Mataram Islam yang berdiri pada akhir abad ke-16. Kerajaan ini berpusat di Kotagede, yang saat itu menjadi pusat pemerintahan dan perdagangan. Di bawah kepemimpinan Sultan Agung (1613–1645), Mataram mencapai puncak kejayaannya. Wilayah kekuasaannya meliputi hampir seluruh Jawa dan sebagian luar Jawa.

Namun, setelah Sultan Agung wafat, Mataram mulai melemah akibat konflik internal dan campur tangan VOC (Belanda). Pertikaian perebutan tahta antar keluarga kerajaan membuat Belanda memiliki peluang untuk ikut campur dan memecah kekuasaan Mataram.

Tahun 1755 menjadi titik balik besar. Terjadi Perjanjian Giyanti antara pihak Mataram yang dipimpin oleh Paku Buwono III dengan Pangeran Mangkubumi, difasilitasi oleh VOC. Perjanjian ini membagi Mataram menjadi dua:

  • Kasunanan Surakarta di bawah Paku Buwono III.

  • Kesultanan Yogyakarta di bawah Pangeran Mangkubumi yang kemudian bergelar Sultan Hamengku Buwono I.

Dengan perjanjian ini, Yogyakarta resmi berdiri sebagai kerajaan yang berdaulat, memiliki pemerintahan sendiri, istana (Keraton Yogyakarta), serta wilayah kekuasaan.

Meskipun berdiri sebagai kerajaan, Yogyakarta tak lepas dari pengaruh Belanda. Namun, beberapa kali Yogyakarta menunjukkan perlawanan. Salah satunya adalah Perang Diponegoro (1825–1830), dipimpin oleh Pangeran Diponegoro, putra sulung Sultan Hamengku Buwono III. Perang ini menjadi salah satu perlawanan terbesar terhadap Belanda, melibatkan taktik gerilya dan dukungan rakyat luas.
Sayangnya, perang ini berakhir setelah Diponegoro ditangkap melalui tipu daya Belanda di Magelang. Meski kalah, perlawanan ini meninggalkan jejak heroik yang hingga kini dikenang.

Ketika Indonesia memproklamasikan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, Yogyakarta mengambil peran penting. Sultan Hamengku Buwono IX dan Adipati Paku Alam VIII secara resmi menyatakan bahwa Kesultanan Yogyakarta dan Kadipaten Pakualaman bergabung ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Bahkan, saat ibu kota Indonesia terancam oleh agresi militer Belanda, Yogyakarta menjadi ibu kota sementara Republik Indonesia dari Januari 1946 hingga Desember 1949.

Di masa ini, terjadi Serangan Umum 1 Maret 1949, sebuah operasi militer yang dipimpin oleh Letkol Soeharto bersama TNI dan rakyat Yogyakarta. Serangan ini berhasil merebut Yogyakarta dari Belanda selama enam jam dan menjadi bukti bahwa TNI masih memiliki kekuatan. Peristiwa ini sangat berpengaruh terhadap posisi Indonesia di mata dunia.

Atas jasa besar Kesultanan Yogyakarta dan Pakualaman bagi kemerdekaan, pemerintah Indonesia memberikan status Daerah Istimewa kepada Yogyakarta. Status ini diatur dalam Undang-Undang No. 13 Tahun 2012, yang mengakui Sultan Yogyakarta sebagai Gubernur dan Adipati Pakualaman sebagai Wakil Gubernur secara turun-temurun.

Kini, Yogyakarta dikenal sebagai kota pelajar, kota budaya, dan destinasi wisata populer. Keraton Yogyakarta tetap berdiri megah sebagai pusat adat dan budaya, sementara Malioboro menjadi ikon pariwisata. Pendidikan juga menjadi daya tarik utama, dengan adanya Universitas Gadjah Mada, Universitas Negeri Yogyakarta, dan banyak perguruan tinggi lainnya.

Kota ini tetap mempertahankan tradisi seperti upacara adat Sekaten, Grebeg, dan labuhan. Di sisi lain, kreativitas modern juga berkembang pesat, terlihat dari tumbuhnya industri seni, musik, dan kuliner.

Sejarah Yogyakarta adalah sejarah tentang keteguhan mempertahankan jati diri di tengah arus perubahan. Dari kerajaan Mataram yang jaya, perlawanan terhadap penjajah, menjadi pusat pemerintahan republik, hingga kota budaya dan pendidikan—semua meninggalkan jejak yang membentuk wajah Yogyakarta hari ini.

Yogyakarta bukan sekadar tempat… ia adalah perasaan, kenangan, dan cerita yang hidup di hati siapa saja yang pernah menginjakkan kaki di sini.
Seperti semboyannya, "Jogja Istimewa", kota ini akan selalu memiliki tempat khusus di sejarah dan di hati bangsa Indonesia.

Tidak ada komentar:

Bangkit dari Trauma: Panduan Pemulihan Mental Pasca Banjir dan Longsor

Ketika banjir dan longsor merendam rumah dan meruntuhkan tanah, kehidupan warga berubah dalam hitungan menit. Banyak yang kehilangan tempat ...

Pengunjung lain juga Baca