Ketika nama Mohammad Hatta disebut, sejarah bangsa Indonesia seolah membuka halaman-halaman emasnya. Bersama Soekarno, ia memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945. Tapi yang membuat Hatta istimewa bukan hanya karena ia adalah wakil presiden pertama Indonesia. Lebih dari itu, Hatta adalah simbol intelektualisme, kejujuran, dan kerendahan hati di tengah gejolak perjuangan sebuah bangsa yang baru lahir.
Mohammad Hatta lahir pada 12 Agustus 1902 di Bukittinggi, Sumatera Barat. Ia berasal dari keluarga yang cukup terpandang, namun tidak pernah besar kepala. Sejak kecil, Hatta dikenal sebagai anak yang cerdas dan haus ilmu. Buku adalah sahabat sejatinya. Ia bisa membaca berjam-jam tanpa lelah, bahkan lebih memilih buku daripada bermain dengan teman-temannya.
Setelah menamatkan pendidikan dasar, Hatta melanjutkan studi ke Belanda. Di negeri penjajah itulah pemikiran nasionalismenya matang. Ia tak hanya belajar ekonomi di Handels Hogeschool, Rotterdam, tapi juga aktif di berbagai organisasi pergerakan seperti Perhimpunan Indonesia. Hatta menulis, berpidato, dan berdebat tentang pentingnya kemerdekaan bangsa-bangsa terjajah.
Salah satu pidatonya yang paling terkenal berjudul “Indonesia Merdeka” di tahun 1928, yang kemudian membuatnya ditangkap dan diadili oleh pemerintah Belanda. Namun, dalam pengadilan itu, Hatta justru menunjukkan intelektualitasnya yang luar biasa, membungkam para jaksa dengan argumentasi yang tajam dan elegan.
Setelah kembali ke Indonesia, Hatta terlibat aktif dalam perjuangan melawan kolonialisme. Meski dikenal sangat cerdas dan berpendirian teguh, ia tetap rendah hati. Ia tidak pernah mengejar jabatan atau popularitas.
Ketika masa kemerdekaan semakin dekat, Hatta menjadi sosok kunci dalam diplomasi dan penyusunan strategi perjuangan. Bersama Soekarno, ia diculik ke Rengasdengklok oleh para pemuda agar segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Dan pada 17 Agustus 1945, dunia menyaksikan dua tokoh besar bangsa berdiri di depan mikrofon: Soekarno membacakan teks proklamasi, dan Hatta mendampingi dengan tenang sebagai saksi sejarah.
Tak banyak orang tahu, tulisan tangan teks proklamasi yang asli sebenarnya ditulis oleh Hatta, setelah didikte oleh Soekarno. Ia juga menyumbangkan ide dalam susunan naskah itu. Ia bukan orator seperti Soekarno, tapi kekuatan Hatta terletak pada pikiran dan prinsipnya yang jernih dan tegas.
Sebagai Wakil Presiden pertama Indonesia, Hatta menjalankan tugasnya dengan disiplin dan penuh tanggung jawab. Ia juga pernah menjabat sebagai Perdana Menteri dalam sistem parlementer. Tapi yang paling dikenang dari Hatta adalah kesederhanaannya yang luar biasa.
Pernah suatu ketika, Hatta ingin membeli sepatu impiannya dari luar negeri, namun tak cukup uang. Ia menabung dari gajinya sedikit demi sedikit. Sepatu itu tak pernah terbeli hingga akhir hayatnya. Inilah asal-usul kisah legendaris “tiga pasang sepatu Bung Hatta”, simbol hidup bersahaja seorang negarawan.
Hatta juga dikenal sebagai tokoh yang sangat menghargai waktu, jujur, dan antikorupsi. Ia selalu tepat waktu, bahkan konon jam di rumahnya dijadikan acuan bagi para pejabat.
Selain dikenal sebagai Bapak Proklamator, Hatta juga diberi gelar Bapak Koperasi Indonesia. Ia percaya bahwa koperasi adalah jalan ekonomi yang paling sesuai dengan jiwa bangsa Indonesia — gotong royong, adil, dan berkelanjutan.
Dalam pidato-pidatonya, Hatta menekankan bahwa ekonomi Indonesia harus dibangun oleh dan untuk rakyat, bukan oleh kapitalis asing atau segelintir elite. Ia bermimpi rakyat Indonesia bisa hidup mandiri secara ekonomi, tidak bergantung pada kekuatan asing. Gagasan itu ia tuangkan dalam berbagai tulisan dan kebijakan.
ada tahun 1956, Hatta mengundurkan diri dari jabatan Wakil Presiden. Bukan karena tak lagi dicintai rakyat, tapi karena ia merasa prinsipnya tak lagi sejalan dengan arah politik yang semakin pragmatis.
Langkah itu menunjukkan bahwa bagi Hatta, integritas lebih penting dari kekuasaan. Ia tak mau berkompromi dengan politik kotor, dan memilih mundur dengan kepala tegak.
Mohammad Hatta wafat pada 14 Maret 1980. Ia dimakamkan di Tanah Kusir, Jakarta, dengan upacara kenegaraan yang penuh hormat. Namun warisannya jauh melampaui makamnya. Ia meninggalkan semangat: bahwa kemerdekaan bukan hanya lepas dari penjajah, tapi juga merdeka dalam berpikir, dalam bersikap, dan dalam bertindak jujur untuk rakyat.
Nama Hatta diabadikan dalam berbagai institusi: Universitas Bung Hatta, Bandara Internasional Minangkabau (terminalnya dinamai Terminal Hatta), hingga wajahnya di uang kertas. Tapi yang lebih penting, semangat dan teladannya tetap hidup dalam hati rakyat Indonesia.
Di tengah zaman yang penuh kegaduhan politik dan krisis integritas, sosok seperti Mohammad Hatta adalah cahaya penuntun. Ia bukan hanya proklamator, tetapi juga cermin dari apa artinya menjadi pemimpin yang melayani, bukan dilayani.
Ia menunjukkan bahwa kecerdasan tanpa kejujuran adalah sia-sia, dan kekuasaan tanpa moral adalah bencana. Dari buku ke mimbar, dari pengadilan kolonial ke meja proklamasi, Hatta telah memberi semuanya untuk bangsa ini — tanpa pernah meminta kembali.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar